Dulu, ada anak kecil bertangan gempal yang hobinya berkhayal dengan imajinasi yang dibentangkan tanpa batas; menjadi juru masak terkenal di restoran bintang lima, menjadi pilot yang setiap hari melihat awan-awan putih nan indah dengan perasaan bahagia, menjadi pengacara yang doyan berbicara, bahkan seorang ibu beranak dua.
Terkadang, si anak bertangan gempal juga suka curhat di buku bergambar beruang besar yang sampulnya merah muda. Tentang betapa sebalnya ia pada sang Ibu yang konon nampak lebih menyayangi si Adik ketimbang dia. Namun begitu, si anak bertangan gempal ini juga sering berdoa di kertas HVS yang diambilnya secara diam-diam dari meja kerja Bapak. Isi doanya ingin Ibu selalu sehat, mulia, dan bahagia biar bisa menemani ia dan adik-adiknya menikah dan punya keluarga. HVS-nya tidak diberikan pada Ibu, tentu saja. Cuma dia lipat sampai membentuk perahu kecil kemudian dia larung di selokan sebelah rumah — begitu terus beberapa kali sampai akhirnya perahu itu ditemukan oleh temannya. Barulah ia berhenti menulis, takut doa-doanya bocor ke mana-mana.
Lalu, si anak bertangan gempal yang hobinya berkhayal disuruh Pak Guru untuk mengarang puisi. Karena otaknya sudah mentok ke tembok, beberapa hari sebelum puisinya dikumpulkan pun ia akhirnya menuangkan khayalannya pada kertas. “Terserah, ah. Yang penting selesai.”
Lho, siapa sangka karena puisi yang ditulis dengan otak mentok ke tembok tadi, akhirnya si anak bertangan gempal jadi sering ikut lomba sana-sini mewakili sekolah buat cipta baca puisi? Meskipun hadiahnya sering tidak diberikan oleh Bapak atau Ibu Guru, tapi tidak apa-apa. Yang penting pernah foto bareng piala dan makan bakso setiap selesai lomba. Lihat Bapak tepuk tangan setiap ia maju dan menang lomba, rasanya sudah cukup bikin bahagia.
Tumbuh besar, ia semakin sering menulis. Menumpahkan imajinasinya. Entah tentang idola laki-lakinya, pasangan fiksi yang ia idolakan, tetapi berakhir karam di serial yang ditontonnya, ataupun perasaannya. Beberapa orang memuji. Katanya, ia punya bakat dalam menulis. Si anak bertangan gempal yang sudah menjadi gadis remaja itu hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih sambil tersipu. Tidak yakin juga jika ia memang bisa menulis, tetapi ia tahu bahwa menulis membuatnya merasa senang dan tenang seperti baru diajak Bapak berkeliling kota lewat jalan-jalan baru yang belum pernah ia lewati sebelumnya.
Namun, semakin dewasa, saat dunia makin berisik sedangkan dirinya makin merasa sepi, pelan-pelan ia lupa bahwa ia pernah menemukan kebahagiaan dalam menulis. Jarinya tumpul, tidak mampu diraut untuk menulis huruf dalam kertas HVS atau buku bergambar beruang yang sampulnya berwarna merah muda lagi. Ada rasa sakit yang memaksa untuk dia ingat setiap kali berusaha menulis lagi sampai akhirnya ia memutuskan untuk benar-benar berhenti.
Untuk si anak bertangan gempal yang sudah menjadi gadis menuju dewasa, salah satu hal paling buruk dari rasa sakit adalah ketika ia harus merasakan sakit juga pada hal-hal yang dulu membuatnya bahagia, yang dulu dijadikan sebagai obat serta pelarian saat apa yang diinginkan berbanding terbalik dengan realitas.
Ia tidak bisa lagi membentangkan imajinasinya tanpa batas, tanpa menggoreskan darah di kertas kosong yang dulu disayangnya. Setelah berbicara dengan dirinya sendiri, akhirnya si anak bertangan gempal yang sudah beranjak dewasa ini memutuskan untuk berhenti. Mencoba untuk “hidup” di dunianya saat ini dan sebatas menikmati tulisan-tulisan maha indah milik orang lain.
Semua terasa mudah, terasa cukup. Pada awalnya.
Sampai suatu hari menjelang tahun 22 berakhir, si anak yang dulunya bertangan gempal membaca sebuah balasan untuk tulisan maha singkat yang pernah ia kirimkan. Bibirnya tertarik ke atas tanpa sadar, kepalanya terketuk tanpa suara. Seolah-olah, ada jari yang menjentik di keningnya.
Si anak bertangan gempal yang tahun depan genap berkepala dua seperti habis diketok dadanya. Sadar. Ia rindu pada kertas putih dan tulisan-tulisan yang kata orang-orang di sekitarnya dulu termasuk cantik. Ia rindu betapa kata-kata sederhana yang digabung menjadi satu dapat membuatnya begitu bahagia, tenang, dan lepas. Ia rindu pada kedatangan kupu-kupu di dalam perutnya dan menari-nari di sana.
Maka, si anak bertangan gempal yang semoga sampai di kepala dua, melilitkan plater luka pada jarinya yang tergores dan pelukan hangat pada diri dan hati yang terluka. Perihnya masih ada, lukanya masih sedikit menganga, tetapi dia tidak mau menutup jalur bahagianya. Jalan yang membuatnya merasa ada.
Jadi, selamat datang, ya, di tulisan anak bertangan gempal yang sekarang sedang senang-senangnya mendengarkan Jelita. Jauh dari kata sempurna, tetapi setidaknya gadis itu bahagia bisa menulis lagi. Anak kecil yang rambutnya sering dikucir banyak itu pasti bangga karena ia yang versi dewasa tidak melupakan hal-hal kecil yang dulu membuatnya merasa bahagia.
https://open.spotify.com/playlist/70vYFssbvYIV38sXmANxd3?si=NBxFYt1QQpmaiTQLh8OYQQ&dd=1
https://open.spotify.com/playlist/70vYFssbvYIV38sXmANxd3?si=NBxFYt1QQpmaiTQLh8OYQQ&dd=1
https://open.spotify.com/playlist/70vYFssbvYIV38sXmANxd3?si=NBxFYt1QQpmaiTQLh8OYQQ&dd=1